Madihin
Madihin (berasal dari kata
madah dalam
bahasa Arab yang berarti "nasihat", tapi bisa juga berarti "pujian") adalah sebuah genre puisi dari
suku Banjar.
Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis
Banjar
di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan
sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari
khasanah di luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie
(2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam
bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai
dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah
folklor Banjar di Kalsel.
Bentuk fisik
Masih menurut
Ganie
(2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun
berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah.
Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik
persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b
atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada
yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan
semua baitnya saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar
yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara
dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4
orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan).
Anggraini Antemas (dalam Majalah
Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar :
Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama
Islam ke wilayah
Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Biasanya, kesenian madihin dimainkan pada malam hari, namun pada masa
sekarang juga dapat lakukan di siang hari sesuai permintaan. Madihin
biasanya dimainkan selama 1 sampai 2 jam. Jika dahulu madihin biasa
dilakukan di tempat terbuka, seperti halaman atau lapangan yang luas,
dengan panggung ukuran 4x3 meter, sekarang madihin sering dipertunjukkan
di dalam gedung pertunjukan.
Struktur Madihin
Dalam pertunjukannya, madihin mempunyai struktur baku bagi semua pemadihin, yaitu:
1. Pembukaan, dengan menyanyikan sampiran sebuah pantun yang diawali
dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan membuka. Pada sampiran ini
biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan pemadihin.
2. Memasang tabi, yakni membawakan syair-syair atau pantun yang
isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, terima kasih atau
permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam membawakan madihin.
3. Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair atau pantun
yang isinya sesuai dengan tema acara atau permintaan panitia. Sebelum
isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan, sampiran pantun di awal
harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga).
4. Penutup, yakni menyampaikan kesimpulan, sambil menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun penutup.
Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar
Bakarasmin)
yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan,
kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu
agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan,
pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara
adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut
Pamadihinan.
Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari
nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh
seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai
dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan
secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat
(bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah
vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan
publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin,
(5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin
(menabuh
gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi
Bamadihinan
masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara
langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio
swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun
radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada
yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja
karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di
tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan
rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif
yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman
etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga
tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar
daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya
dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah
(berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah,
berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar),
tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca
berkesenian).
Para
Pamadihinan
yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan.
Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan
honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara
500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan
mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan
kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan
rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut
ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum
begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang
Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar :
Pinduduk).
Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu
juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan.
Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel
Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah
Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota
besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto,
Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan
pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari
kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, dia ketika
itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus)
kepada Jon Tralala. Selain
Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain :
Mat Nyarang dan
Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura),
Rasyidi dan
Rohana(Tanjung),
Imberan dan
Timah (Amuntai),
Nafiah dan
Mastura Kandangan),
Khair dan
Nurmah (Kandangan),
Utuh Syahiban Banjarmasin),
Syahrani (Banjarmasin), dan
Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili
Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.
Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat
dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi
dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut
Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat
Datu Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat
memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan.
Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat
mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya
hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah
yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi
sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin
kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan
darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di
Alam Banjuran Purwa Sari,
alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian
rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu
Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi
cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah
magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan
dalam sebuah
ritus adat yang disebut
Aruh Madihin.
Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar
dupa dan memberinya
sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan
minyak likat baboreh.
Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang
mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan,
Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang
diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu.
Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan
sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda
mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak
ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur
secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin
Rujukan
- Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Madihin dalam buku Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).
- Tajuddin Noor Ganie, Madihin, Ikon Kecerdasan Linguistik Etnis Banjar di Kalimantan Selatan